Perbincangan terkait profesi guru selalu menarik atensi banyak orang. Hal utama yang selalu menjadi trending topik ketika membahas terkait profesi ini adalah kesejahteraan guru. Bagaimana tidak, dari semua profesi, hanya di profesi ini pekerjaan profesional dibenturkan dengan keikhlasan dalam beramal, seolah guru hanya harus bekerja secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
Guru adalah mereka yang berperan besar mempersiapkan generasi emas masa depan menuju Indonesia yang lebih layak. Namun sebagian besar dari mereka, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan layak. Mengutip dari CNBC Indonesia, 22 November 2022, OJK mengungkapkan fakta-fakta baru perihal peminjaman online (PINJOL). Mirisnya, 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Sebuah fakta menyedihkan yang hanya terus diperingati dan diperdebatkan setiap bulan November tanpa ada solusi konkret untuk menjawab keprihatinan profesi ini hingga sekarang.
Selain permasalahan kesejahteraan guru, ada beberapa hal menarik terkait profesi ini yang tidak banyak orang tahu, salah satunya adalah guru bekerja hampir 24 jam setiap harinya.
Bagaimana bisa?
Pekerjaan guru bukan sekadar mengajar lalu pulang, merebahkan diri, dan scrolling sosial media. Pekerjaan guru lebih kompleks dari apa yang diketahui banyak orang. Seyogianya profesi guru, maka tentu mengajar adalah tugas paling utama yang wajib dilakukan oleh guru. Proses yang harus dilakukan sebelum memulai tugas mengajar ini adalah menyelesaikan perangkat-perangkat ajar yang membantu proses mengajar seperti, membuat modul ajar, membuat rancangan pembelajaran, menyusun rubrik asesmen, membuat kisi-kisi, membuat soal, analisis soal, hingga mengoreksi pekerjaan siswa.
Tugas selanjutnya adalah tugas pelayanan, yang mana tugas ini tidak jarang mengambil waktu di luar jam kerja bahkan ketika waktu istirahat di rumah hingga waktu liburan pun guru masih harus memberikan pelayanan yang maksimal mulai dari melayani keluhan, mengatasi kebingungan, hingga mendengarkan curhatan.
Tugas selanjutnya adalah tugas untuk berinovasi dan mengaktualisasi diri seperti mengikuti workshop, pelatihan, dan desiminasi, yang berguna untuk membuat proses belajar dan mengajar di kelas tetap relevan dengan perubahan kebutuhan siswa dan sesuai dengan kurikulum yang cenderung berubah-ubah. Tugas yang terakhir adalah menjadi event organizer (EO) kegiatan di sekolah, mulai dari event kecil hingga event besar yang tidak jarang menyita waktu, tenaga serta pikiran.
Hal yang tidak banyak orang tahu mengenai pekerjaan guru selanjutnya adalah, anggapan bahwa guru merupakan tonggak utama kelancaran proses belajar siswa di sekolah, adalah anggapan yang keliru.
Mengapa demikian?
Dalam proses belajar di kelas, guru selalu dituntut untuk bisa mengendalikan kelas dan menyampaikan pelajaran dengan maksimal. Sedangkan setiap hari, siswa datang ke sekolah dengan membawa kondisi perasaan dan mood-nya masing-masing dengan pola penanganan yang pastinya tidak sama. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa proses belajar siswa di sekolah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung di lingkungan sekolah saja, namun faktor kondisi lingkungan sosial di rumah juga mempengaruhi proses belajar siswa di sekolah. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk memahami keterkaitan ini adalah teori “Hierarki Kebutuhan” yang dipopulerkan oleh Abraham Maslow, seorang pakar psikologi humanistik. Teori ini menyatakan bahwa individu memiliki lima tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi secara berurutan, dimulai dari kebutuhan dasar hingga kebutuhan yang lebih kompleks. Teori ini menggambarkan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi bisa terpenuhi dengan maksimal. Pengelompokkan kebutuhan dasar manusia berdasarkan Maslow adalah sbb;

https://tehtyastar.com/2018/01/31/teori-hierarki-kebutuhan-maslow/
Jika mengacu pada gambar di atas, maka tahap pencapaian dan pengembangan diri berada pada tingkatan teratas kebutuhan manusia, yang mana proses belajar hingga berprestasi bisa dikategorikan dalam dua kebutuhan tersebut, sehingga secara tidak langsung peran guru di sekolah akan bisa maksimal apabila kebutuhan tingkat pertama hingga ketiga bisa terpenuhi dengan maksimal di rumah. Dari sudut pandang praktisi di dunia siswa usia dini, berikut beberapa temuan yang sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia berdasarkan teori Maslow.
Kebutuhan pertama yang harus terpenuhi di rumah adalah kebutuhan fisiologi. Kebutuhan fisiologi siswa merupakan kebutuhan yang berada di luar kendali para guru, di mana guru tidak dapat mengontrol apa yang dikonsusmsi siswa di rumah, makanan apa yang bisa merubah mood mereka, bagaimana pola istirahat mereka, dan lain lain. Namun di lain sisi, pemenuhan kebutuhan ini sangat berefek pada perilaku siswa di kelas yang dapat menghambat prosesnya dalam belajar. Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan rasa aman. Kebutuhan ini harus dimulai dari rumah karena lingkungan rumah yang aman dan stabil sangat penting untuk menciptakan perasaan nyaman bagi siswa, yang membantu mereka untuk me-realise emosi mereka dengan baik di rumah yang berimbas dengan stabilnya emosi mereka di sekolah terutama untuk siswa usia dini. Siswa yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan konflik, seperti perselisihan orang tua atau kekerasan pola asuh, cenderung tidak percaya diri, mudah merasa cemas dan sulit fokus pada pelajaran dan hal ini tentu sangat menghambat proses belajar mereka.
Kebutuhan selanjutnya yang harus terpenuhi di rumah adalah kebutuhan sosial, yang mana kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan untuk memiliki keluarga dan kebutuhan untuk diperhatikan. Lingkungan rumah yang hangat akan sangat membuat siswa merasa dihargai dan dicintai, dan hal ini dapat berimbas pada rasa percaya diri mereka di sekolah. Dukungan dari orang tua, seperti membantu siswa dalam belajar dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar. Karena jika kebutuhan kasih sayang dan perhatian dari orang tua ini tidak terpenuhi dengan baik, maka siswa datang ke sekolah tidak akan fokus untuk menerima pelajaran, namun merka akan mencari sosok untuk mengisi kekurangan kasih sayang dan perhatian tersebut. Para guru mungkin bisa memberikan kasih sayang dan perhatian itu. Tetapi guru tidak akan bisa menggantikan bentuk afeksi dan emosi antara orang tua ke anak. Jika ketiga kebutuhan dasar siswa ini sudah terpenuhi secara maksimal di rumah, maka akan mudah bagi guru untuk mengusahakan dua kebutuhan puncak siswa. Karena naluri untuk aktualisasi diri akan dengan sednirinya muncul jika siswa sudah selesai dengan kebutuhan dasarnya.
Hal yang tidak banyak orang tahu mengenai pekerjaan guru yang terakhir adalah, guru lebih sering belajar dari siswanya.
Mengapa bisa?
Dalam sebuah buku berjudul Ta’limul Muta’alim yang dirulis oleh imam Az-Zarnuji, beliau mengatakan bahwa,
“seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu, dan tidak akan mengambil manfaat dari ilmu itu, kecuali dengan menakzimkan ilmu dan para ahlinya; juga memuliakan dan menghormati para guru”
Kalimat ini mungkin terdengar memihak pada guru, namun kalimat ini juga secara tidak langsung menegaskan pada guru bahwa profesi sebagai guru dan pengajar bukan profesi remeh yang bisa dipisahkan antara penerapan ilmu dan praktik adabnya, karena menjadi guru sama dengan menjadi figur yang tindak-tanduknya akan dicontoh oleh para siswa. Hal menarik saat mengajari siswa terutama siswa usia dini adalah, mereka cenderung cepat menyerap dan mudah mempraktikkan teori yang mereka pelajari dan hal ini tentunya menjadikan mereka alarm utama jika para guru lalai dalam menerapkan teori yang sudah mereka ajarkan di kelas atau dengan kata lain, guru mungkin ahli dalam mengajarkan teori, namun para siswa adalah guru dalam penerapannya.
Pengalaman lapangan tersebut mengajarkan bahwa, menjadi guru bukan serta merta menjadikan seseorang ahli dalam segala bidang atau menjadikan seseorang benar dalam segala hal. Guru juga manusia yang dalam kesehariannya juga masih melakukan banyak kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu, semua guru juga harus terus membuka diri untuk belajar dan meningkatkan kompetensi diri tidak hanya kemampun intelektual saja, namun norma kemanusiaan dan etika juga harus terus diasah dan yang paling utama adalah kajian ilmu agama dan ketuhanan harus terus diperdalam. Neil Postman, seorang pakar media dan kritikus budaya dalam bukunya yang berjudul The End of Education: Redefining the Value of School atau Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-nilai Sekolah, mengatakan bahwa,
“Jika sekolah tidak memberikan siswa makna atau tujuan yang lebih besar, mereka akan mencari hal-hal yang dangkal, seperti konsumerisme atau teknologi sebagai “Tuhan” atau sumber nilai dalam hidup mereka.”
Dia juga menambahkan bahwa,
“Pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia robot tanpa Tuhan hanya akan menjadi bibit-bibit tumbuhnya permasalahan baru di masa mendatang.”
Karena sekolah tidak seharusnya hanya dijadikan sebagai tempat untuk transfer ilmu, namun sekolah juga harus bisa menajdi tempat untuk membentuk adab dan etika.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, guru bukan penentu utama keberhasilan belajar siswa di sekolah. Oleh karena itu, kerja sama antara stakeholders, guru, orang tua murid dan semua perangkat sekolah harus terjalin dengan baik. Jika ada kendala dalam proses belajar siswa, maka guru bukan tokoh utama yang harus selalu disalahkan karena banyak hal yang terjadi di dalam kelas dipengaruhi oleh faktor sosial di rumah yang berada di luar jangkauan guru. Meski demikian bukan berarti guru lepas tangan ketika ada siswa yang mengalami kesulitan belajar. Guru harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan wali murid untuk menemukan solusi terbaik untuk siswa. Semoga semua guru di negeri ini dihargai dengan layak, sehingga mudah bagi mereka untuk mencetak generasi unggul secara intelektual dan spiritual agar bisa membangun peradaban yang lebih baik di masa depan.
 
				