Tulisan ini ada karena aku baru saja resmi menjadi seorang ibu. Seorang ibu yang bekerja selama kurang lebih 7-8 jam perhari. Tentunya, banyak hal-hal baru yang kutemui dan kupelajari untuk menjadi madrasah pertama terbaik bagi buah hatiku. Syukur, alhamdulillah, aku mendapatkan jatah cuti selama 3 bulan untuk membersamai tumbuh kembang anakku secara intensif. Selama 3 bulan itu aku belajar untuk beradaptasi dengan diri sendiri, dengan lingkungan sekitar, dan dengan dunia baruku sebagai seorang ibu. Awalnya, kukira cuti 3 bulan itu terlalu lama untuk aku yang sebelumnya sangat ambisius dalam bekerja, ya bisa disebut gila kerja. Namun, semakin jatah cutiku akan habis, semakin aku khawatir dan mulai memasuki ritme perasaan yang rollercoaster.
Selasa, 10 September 2024, hari pertama aku kembali bekerja. Senang karena bisa bersua kembali dengan murid-murid hebat nan menggemaskan. Sedih karena harus meninggalkan buah hati untuk beberapa jam kedepan. Terus terang, hari itu aku sangat tidak fokus bekerja dan ingin segera kembali pulang. Apalagi anakku hanya berdua di rumah bersama ayahnya karena ayahnya melakukan work from home. Sepertinya hampir setiap lima menit sekali aku menanyakan keadaan anakku. Alhamdulillah, tidak rewel tetapi wake time-nya sedikit lebih panjang dibandingkan saat ia berusia 1-2 bulan. Sehingga suamiku tidak dapat bekerja dengan maksimal. Hari-hari selanjutnya pun begitu, membuatku harus sering izin untuk kembali ke rumah bergantian menjaga anak. Tiga minggu awal bekerja cukup membuatku dan suamiku mengalami emotional turbulence, istilah yang kudapat dari cerita Ustadzah Elok yang pernah membagikan pengalamannya sebagai seorang ibu. Tidak mungkin kuceritakan dengan detail di sini karena akan sangat panjang.
Sejak saat itu, aku mulai merenung dan terus bertanya kepada diriku, bagaimana aku bisa kembali membagi waktu dengan baik? bagaimana aku bisa fokus mengerjakan tugas madrasah? dan yang terpenting adalah bagaimana aku bisa menghabiskan banyak waktu dengan buah hatiku? Tepat kala itu, aku tengah membaca buku berjudul Sistem Pendidikan Finlandia karya Ratih D. Adiputri, Teach like Finland karya Timothy D. Walker, dan The Book You Wish Your Parents had Read karya Philippa Perry. Ketiga buku tersebut perhalan menjawab renunganku yang tengah kalut di masa-masa early parenthood. Dari tiga buku itu aku membuat kesimpulan singkat bahwa, pembelajaran seumur hidup yang bahagia adalah dengan menjadikan seluruh alam semesta ini adalah ruang kelas untuk membuat anak bahagia dalam belajar. Ia bisa belajar di mana pun dan kapan pun. Ia memiliki kebebasan yang menjadi tanggung jawabnya untuk mengembangkan diri. Tentunya kebahagiaan belajar tersebut pertama kali didapat di rumahnya oleh orang tua. Kemudian, kebahagiaan tersebut akan dilanjutkan oleh guru di sekolah dan orang-orang di sekitarnya.
Proses mengkritisi situasi yang kuhadapi dan buku yang kubaca pada akhirnya menggugahku untuk kembali menjalin komunikasi dengan salah satu temanku yang berasal dari Finlandia. Dia adalah salah satu guru di tingkat paling dasar yaitu Early Childhood Education and Care. Kami saling bertukar cerita sekaligus bernostalgia masa-masa selama studi di Eropa. Kali ini aku menceritakan keluh kesahku yang sedang mengalami dilema sebagai seorang ibu dan seorang guru. Aku menyampaikan kepadanya bahwa aku mendapatkan jatah cuti selama 3 bulan untuk beradaptasi dengan suasana baru. Aku menyampaikan juga kesulitanku dalam membagi waktu dimana aku harus bekerja tetapi juga harus mengutamakan tumbuh kembang anakku. Temanku cukup terkejut dengan kebijakan yang diberikan, menurutnya hal tersebut terlalu singkat karena selesai melahirkan adalah masa-masa sang ibu beradaptasi dengan kehidupan barunya bersama anaknya. Masa-masa itulah yang disebut dengan golden moment, masa yang berharga di mana ibu, ayah, dan buah hati akan memulai komunikasi intensif secara lahir dan batin. Pernyataan tersebut memicuku untuk mengkaji kembali buku-buku yang kubaca, beberapa artikel yang berkaitan dengan sistem pendidikan di Finlandia, serta work life balance ala Finlandia. Tak lupa juga tetap berdiskusi dengan teman Finlandiaku.
Salah satu kebijakan yang mencengangkan adalah adanya kebijakan Family Leave (cuti keluarga). Cuti tersebut dapat diambil ketika sang ibu melahirkan. Sistem cuti keluarga ini meliputi raskausvapaa-pregnancy leave (cuti kehamilan) dan erityisraskausvapaa-special pregnancy leave (cuti kehamilan spesial), vanhempainvapaa-parental leave (cuti orang tua), dan hoitovapaa-child care leave (cuti pengasuhan anak). Cuti kehamilan diberikan setidaknya 40 hari kerja dan biasanya dimulai dari 30 hari kerja sebelum waktu melahirkan. Jika tidak ingin mengambil dari 30 hari kerja maka ibu hamil wajib mengambil cuti maksimal 14 hari kerja sebelum hari melahirkan. Mengapa harus begitu? Tanyaku pada teman Finlandia. Ia menjawab, hal tersebut untuk memberikan waktu kepada ibu hamil agar dapat mempersiapkan kelahiran dengan maksimal. Tidak hanya persiapan untuk melahirkan tetapi juga mematangkan persiapan menghadapi postpartum, parenting, dan child care. Sebab banyak sekali faktor-faktor unik yang akan mempengaruhi kondisi fisik dan batin ibu setelah melahirkan. Wow, sedetail itu, batinku.
Seketika aku teringat ketika aku hendak mengambil cuti melahirkan, aku benar-benar menghitung agar tidak terlewat sehari pun dari kebijakan yang diberikan. Aku bahkan mulai mengambil cuti sekitar 6 hari sebelum hari perkiraan lahir demi mendapatkan waktu yang lebih lama bersama buah hati nantinya. Beberapa temanku yang telah menjadi ibu, mereka mengambil cuti melahirkan dua hari atau sehari sebelum hari perkiraan lahir. Bahkan, ada seorang temanku yang paginya masih mengajar dan sorenya melahirkan. Mungkin rasanya luar biasa menjadi ibu hamil yang bekerja meski mendekati hari kelahiran. Namun, sering tidak kita sadari ada hal-hal kecil tersembunyi yang dapat mempengaruhi kesiapan mental dan emosi apabila tidak matang dalam mempersiapkannya.
Beralih pada kebijakan cuti orang tua. Terdengar aneh bagi kita yang tidak terbiasa dengan kebijakan itu, bukan? Padahal hal ini sudah menjadi sesuatu yang wajar dan bahkan dianjurkan di beberapa negara barat. Ketika seorang bayi lahir, maka kedua orang tua berhak mengambil cuti orang tua. Umumnya, cuti orang tua di Finlandia berlangsung selama 320 hari kerja (sekitar 13 bulan). Jika anak memiliki dua orang tua (ayah dan ibu) maka keduanya berhak atas cuti selama 160 hari kerja. Sedangkan orang tua tunggal (ayah/ibu) dapat menggunakan 320 hari kerja. Aku cukup tercengang memahami kebijakan ini. Teman Finlandiaku mengatakan bahwa 4 minggu pertama parental leave adalah masa-masa vital dimana ayah, ibu, dan anak harus melakukan bonding yang cukup kuat. Mereka harus mengenal, mendekatkan batin, dan memahami satu sama lain. Hal tersebut besar manfaatnya sebelum memasuki dunia parenting. Itulah masa newborn yang seringkali terlewatkan begitu saja. Bagaimana tidak terlewatkan? Ada seorang ibu yang harus masuk kerja satu minggu setelah melahirkan. Bahkan kebanyakan ayah tidak mendapatkan kebijakan cuti untuk mendampingi istri setelah melahirkan. Kasus-kasus seperti itu pada akhirnya berakhir menitipkan anak di kakek neneknya ataupun di daycare.
Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan orang tua terutama seorang ibu ketika ia harus kembali bekerja dan pilihan terakhir adalah menitipkan “anak bayinya” di daycare. Masa newborn (0-4 minggu) dan masa bayi (0-11 bulan) adalah masa dimana seharusnya ayah dan ibu menghabiskan waktunya bersama buah hati tercinta. Masa dimana ikatan komunikasi lahiriyah terjalin. Masa dimana sang buah hati merasakan kasih sayang yang utuh pertama kalinya dari ayah dan ibunya. Masa dimana nilai-nilai parenting yang ayah ibu pilih itu ditanamkan kepada pribadi buah hati. Namun, karena tuntutan pekerjaan dan kesejahteraan hidup, ayah dan ibu harus kembali bekerja dan menitipkan buah hatinya di daycare. Sedih bukan main, seperti yang kurasakan saat ini. Aku menitipkan buah hati tercintaku di daycare hingga pukul 4 sore. Waktu bermain dengan buah hatiku hanya sebentar sebelum ia kembali istirahat malam. Itulah mengapa, aku sangat menghindari bertugas di akhir pekan sebab rasanya aku harus menebus ketidakhadiranku selama lima hari kerja kepada anakku. Hari Sabtu kukhususkan berkunjung untuk ke rumah orang tua. Sedangkan hari Minggu adalah waktu spesial untuk keluarga kecilku.
Selanjutnya adalah cuti pengasuhan anak. Kebijakan ini dapat digunakan apabila orang tua ingin tetap tinggal di rumah untuk mengasuh anak setelah masa cuti orang tua berakhir. Orang tua dapat mengambil cuti ini hingga anaknya berusia 3 tahun. Cuti pengasuhan anak bisa dimulai setelah 160 hari kelahiran anak. Ada juga cuti pengasuhan anak yang bersifat parsial, hal ini berbentuk kesepakatan dengan atasan kerja. Sehingga salah satu orang tua dapat bekerja di pagi hari dan satunya lagi di sore hari untuk bergantian mengasuh anak. Wow, aku berdecak kagum lagi dalam hati. Aku bertanya kepada teman Finlandiaku, bagaimana dengan mereka yang mengambil cuti selama itu? Apakah tetap digaji dari tempat ia bekerja? Ia menjawab dengan lugas, tentu. Memang ada kebijakan cuti yang berbayar dan cuti yang tidak dibayar. Nah, family leave ini adalah salah satu cuti yang berbayar, sehingga orang tua yang mengambil cuti tetap mendapatkan gaji mereka. Meskipun setiap instansi memiliki peraturan yang berbeda-beda tetapi kebijakan pemerintah Finlandia pada Employment, Social Affairs, & Inclusion bagian Maternity and Paternity menyebutkan bahwa ketika seorang bayi lahir maka ayah dan ibu berhak atas tunjangan untuk membantu merawat bayi. Tunjangan yang diberikan diantaranya adalah äitiysavustus -maternity grant (bantuan bersalin), raskausraha-pregnancy allowance (tunjangan kehamilan), dan vanhempainraha-parental allowance (tunjangan orang tua). Aku sungguh terkesima, belum lagi dengan penjelasan temanku tentang berapa banyak jumlah tunjangan yang didapatkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan selama merawat anak ketika masa cuti. Di sini saja aku akan sangat bersyukur bila diberi kesempatan cuti yang lebih panjang untuk mengasuh secara intensif sampai ia berusia tiga tahun.
Melalui percakapan panjang bersamaan dengan hasil kajian dari tulisan-tulisan yang kubaca, muncul pertanyaan dalam benakku, kebijakan cuti selama itu dan Finlandia menjadi negara paling bahagia di dunia, bagaimana bisa? Di sinilah buku How to Raise the World’s Happiest Children (Näin kasvatat lapsestasi mukavan aikuisen) karya Kaija Puura menjawab,
In order to grow up into a well-adjusted adult, a child needs love and boundaries, emotional skills, and appreciation. Parents play the primary and fundamental role in providing love, teaching how to control emotion, and giving appreciation to their child.
Agar tumbuh menjadi orang dewasa yang mampu menyesuaikan diri dengan baik dalam situasi sosial dan emosional, seorang anak membutuhkan cinta dan batasan, keahlian dalam mengolah emosi, dan penghargaan. Orang tua memiliki peran utama dalam menyediakan cinta, mengajarkan keahlian dalam mengolah emosi, dan memberikan penghargaan terhadap anak mereka.
Ministry of Economic Affairs and Employment (Kemeterian Ekonomi dan Ketenagaakerjaan) membuat kebijakan family leave dengan konsep sedetail itu tentu bukan tanpa alasan. Kebijakan tersebut justru menjadi salah satu kunci keberhasilan Finlandia menjadi negara paling bahagia di dunia. Kebijakan tersebut menyimpan banyak manfaat untuk tumbuh kembang anak yang matang. Sebab bukan hanya salah satu orang tua saja yang mengasuh anak secara intensif tetapi melibatkan kedua orang tuanya. Kebanyakan masyarakat umum menganggap bahwa ibu memiliki tugas utama untuk merawat dan mengasuh anak. Suami bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Padahal, kehadiran ayah dan ibu untuk awal kehidupan buah hatinya adalah hal yang vital. Sebuah artikel berjudul Finland: the only country where fathers spend more time with kids thank mothers (Finlandia: Satu-satunya negara dimana para ayah menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anak dibandingkan para ibu) menuliskan bahwa,
Finland believes fathers play a crucial role in child development. The government offers fathers nine weeks of paternity leave, during which they are paid 70% of their salary. And to encourage fathers to take advantage of the benefit, it recently launched a new campaign – with flyers showing a burly construction worker joyfully pushing a pram – called “It’s Daddy Time!”
Finlandia percaya bahwa ayah memegang peranan penting dalam perkembangan anak. Pemerintah menawarkan cuti selama sembilan minggu kepada para ayah dan selama cuti tersebut mereka akan dibayar 70% dari gaji mereka. Dan untuk mendorong para ayah memanfaatkan manfaat tersebut, baru-baru ini pemerintah meluncurkan sebuah kampanye baru – dengan selebaran yang memperlihatkan seorang pekerja konstruksi bertubuh kekar dengan gembira mendorong kereta bayi – yang disebut “Saatnya Ayah Menjadi Ayah!”
We want fathers to take more of the shared parental leave available. We are quite sure if we look at the research that the connection between the baby and the father is really important – the early years are vital and we believe in investing in that.
Kami ingin para ayah memanfaatkan lebih banyak cuti bersama yang tersedia. Kami cukup yakin jika melihat penelitian bahwa hubungan antara bayi dan ayah sangatlah penting – tahun-tahun awal sangatlah penting dan kami percaya untuk berinvestasi dalam hal itu.
Mendalami kutipan artikel tersebut membuatku terkesima. Aku memang pernah membaca hal yang sama di dalam beberapa buku parenting bahwa peran ayah sangat penting untuk perkembangan anak terutama dalam hal perkembangan emosi. Sayangnya, hal ini sungguh terbalik 180° dengan apa yang tengah terjadi di masyarakat kita. Ibu sibuk mengurus anak di rumah dari pagi hingga malam. Ayah bekerja dari pagi hingga malam atau bahkan keduanya bekerja. Sehingga waktu yang dihabiskan dengan anak hanyalah sedikit, atau hanya ketika akhir pekan. Ya! Kukatakan ini adalah tuntutan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup! Apakah ini miris dan menyedihkan? Aku akan mengatakan iya, sebab membersamai buah hati di awal kehidupannya adalah hal yang tidak akan pernah terulang. Mereka mungkin tak akan mengingat momen itu tetapi itu adalah momen indah untuk ayah dan ibu menikmati hadiah dari Yang Maha Kuasa sembari menanam benih kebaikan di dalam diri buah hati.
Kebijakan pemerintah Finlandia terkait Family Leave dengan tulisan Kaija Puura, seorang profesor psikiatri anak dan dokter senior di Finlandia akhirnya membawaku pada kontemplasi bermakna tentang betapa berharganya seorang anak yang berbahagia dalam hidupnya. Baik itu ketika sedang belajar, atau kegiatan lainnya.
Kebijakan family leave di Finlandia telah memberikan ruang kepada orang tua untuk memaksimalkan momen merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Terutama saat anak tengah belajar beradaptasi dengan dunia yang pastinya tak sama seperti ketika di dalam rahim ibu. Kebijakan tersebut telah memberikan kebahagiaan tersendiri bagi setiap anak karena mereka dapat menghabiskan seluruh waktu emasnya dengan dua orang yang dicintainya, ayah dan ibu. Kebijakan tersebut telah memberikan kesempatan pada keluarga kecil, dimana mereka dapat membuat kenangan indah masa kecil buah hatinya tanpa takut kehilangan pekerjaan atau hal yang menunjang hidup lainnya.
Aksara ini bukanlah ajang untuk membandingkan kebijakan antar negara yang berbeda-beda. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebahagiaan anak dalam belajar menghadapi kehidupannya adalah salah satu kunci suksesnya pendidikan moral. Dan sudah sepatutnya hal tersebut datang pertama kali didapat dari orang tua mereka. Itulah mengapa orang tua perlu diberi kesempatan untuk membersamai tumbuh kembang anak secara intensif di awal kehidupan mereka. Pendampingan intensif di awal kehidupan buah hati memberikan dampak yang luar biasa untuk membentuk pribadi anak yang well-adjusted. Sehingga, tak heran jika Finlandia menjadi negara paling bahagia di dunia. Salah satu faktornya bermula dari anak-anak yang bahagia karena tangki cintanya telah terpenuhi. Sehingga mereka dapat mengolah diri di kehidupan mendatang, termasuk ketika mulai belajar di sekolah. Tak akan ada anak yang kesulitan belajar, tidak nyaman belajar, atau sejenisnya jika mereka sudah puas menghabiskan masa kecil mereka dengan orang-orang tercinta. Mereka akan mudah belajar di mana pun dan kapan pun.
Bagiku, anak adalah kesempatan kedua bagiku untuk memperbaiki hidup. Bukan soal prestasi tetapi soal pendidikan akhlak dan komitmen diri. Dengan segala keterbatasan waktu yang kumiliki, aku memilih untuk tetap menjalani keduanya dengan semangat positif, yakni sebagai seorang ibu dan seorang guru. Teruntuk ayah dan bunda semua, semoga kita diberikan kemudahan oleh Allah Swt. untuk tetap dapat membersamai dan menuntun buah hati menuju surga-Nya. Tentunya, dengan cara yang baik, dengan cara yang diridai-Nya. Aamiin.
Sumber:
Adiputri, Ratih D. (2019). Sistem Pendidikan Finlandia. Kepustakaan Populer Gramedia Finland – Maternity and paternity. (2024). Diakses pada 4 Oktober 2024 dari https://ec.europa.eu/social/main.jsp?catId=1109&intPageId=4514&langId=en
Holidays and Leaves. (2024). Diakses pada 6 Oktober 2024 dari https://www.infofinland.fi/en/work-and-enterprise/during-employment/holidays-and-leaves
Perry, Philippa. (2019). The Book You Wish Your Parents has Read. Penguin Random House UK.
Pura, Kaija. (2019). How to Raise the World’s Happiest Children. WSOY.
Russell, Helen. (2015). How to Raise a Viking. HarperCollins Publishers.
Topping, Alexandra. (2017). Diakses pada 9 Oktober 2024 dari https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2017/dec/04/finland-only-country-world-dad-more-time-kids-moms
Walker, Timothy D. (2017). Teach like Finland. Gramedia Widiasarana Indonesia.
