Sebagai orang tua dan guru, kita seringkali menghadapi berbagai macam situasi yang dibuat oleh anak didik kita. Tidak semua tingkah polah anak-anak, baik anak sendiri di rumah maupun anak didik di sekolah membuat kita senang. Namun ada yang membuat kita ber-istighfar puluhan kali, ada juga yang sampai menyulut emosi kita. Ketika emosi kita tersulut, ingin rasanya melampiaskan emosi tersebut kepada anak yang bersangkutan.
Perlu diingat bahwa kita adalah seorang pendidik dan orang tua. Apapun yang kita lakukan harus berefek positif kepada proses pendidikan anak-anak kita, termasuk dalam memberikan hukuman. Hukuman bisa diberikan kepada anak asalkan terukur, tidak menimbulkan bekas, dan tidak menjatuhkan harga diri.
Dalam Islam, hukuman bertujuan untuk memberikan perbaikan. Syaikh Jamal Abdurrahman, seorang pakar pendidikan Islam dari Mesir, mengatakan bahwa tujuan hukuman dalam Islam untuk memberikan arahan dan perbaikan, bukan sebagai ajang untuk balas dendam atau pemuasan diri. Maka sebenarnya salah jika pemberian hukuman karena emosi kita melihat tingkah anak-anak. Namun hukuman diberikan secara terukur agar anak bisa berubah dan meninggalkan kebiasaan buruknya.
Salah satu contoh penerapan hukuman untuk anak-anak yang sering kita dengar dan baca adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Ahmad yang berbunyi:
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat pada usia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.
Para ulama menafsirkan hadits ini bahwa ketika usia tujuh tahun, kita sebagai orang tua harus memerintahkan mereka untuk salat. Pada usia sepuluh tahun ketika mereka enggan melaksanakan salat, orang tua boleh memberikan hukuman berupa pukulan kepada mereka. Namun perlu diperhatikan pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak sampai menimbulkan cedera pada anak. Jangan memukul di bagian yang rawan seperti kepala, wajah, perut, dada, atau bagian tubuh lain yang menimbulkan efek cedera yang lebih besar jika dipukul.
Pemberian hukuman harus terukur dan tidak boleh sembarangan dalam penerapannya. Dr. Said bin Ali al-Qahthani, seorang penulis dan pakar pendidikan Islam menyampaikan bahwa pendidik itu ibarat dokter dalam mengobati pasien. Di antara penyakit ada yang membutuhkan obat dosis ringan, ada pula yang membutuhkan dosis berat. Obat di sini berarti hukuman, sedangkan penyakit adalah pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan kecil, maka dosis hukuman yang diberikan juga kecil. Begitu pula sebaliknya.
Pemberian dosis yang harus sesuai dengan hukuman yang dilakukan anak. Misalnya ketika anak melakukan pelanggaran kecil seperti tidak meletakkan sepatu di rak, maka hukumannya tidak perlu dibentak atau dipukul, cukup diperintahkan untuk mengambil sepatunya dan meletakkan di tempat yang telah disediakan. Jika melakukan hukuman berat seperti mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak cukup hanya sekedar nasihat namun bisa didatangkan orang tuanya dan dinasihati di hadapan orang tuanya.
Hukuman yang tidak sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran akan berakibat fatal bagi anak. Ketika anak hanya melakukan kesalahan kecil namun kita beri hukuman dengan memukul, dikhawatirkan anak akan menjadi penakut dan akhirnya tidak bisa mengembangkan dirinya. Jika hukuman berat terus menerus diterapkan, maka anak akan mengalami “overdosis” hukuman. Artinya dia tidak akan takut lagi menerima hukuman walaupun melakukan pelanggaran berkali-kali. Padahal tujuan hukuman adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas, yaitu memperbaiki perilaku anak.
Terakhir yang tidak kalah penting agar kita tidak sampai menjatuhi hukuman kepada anak adalah berusaha membuat anak sekecil mungkin melakukan pelanggaran. Dengan cara apa? Yaitu memberikan teladan yang baik. Satu keteladanan lebih baik daripada seribu nasihat. Anak akan lebih mudah melihat apa yang kita lakukan daripada menerima nasihat kita karena anak adalah peniru yang baik. Kalau kita tidak ingin memukul anak kita karena di usia sepuluh tahun dia masih enggan melaksanakan salat, maka sejak usia tujuh tahun atau kurang dari itu kita ajak mereka salat. Tidak hanya mengajak bahkan kita harus terlihat salat di awal waktu di masjid. Dengan cara ini pasti anak akan tertarik untuk mengikuti kita. Mungkin awalnya hanya salat main-main saja. Namun seiring bertambahnya usia dan ilmu yang didapat, anak akan semakin baik salatnya. Jika kita tidak ingin menghukum anak kita karena makan dan minum dengan tangan kiri, maka kita contohkan ke mereka bagaimana cara makan dan minum yang sesuai sunnah Nabi Muhammad saw.
Selain teladan dan nasihat, doa juga sangat dibutuhkan dalam mendidik anak. Bahkan doa Nabi Ibrahim a.s. diabadikan oleh Allah Swt. dalam surah Ash-Shaffat ayat 100 yang berbunyi:
رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
Kita berdoa agar anak kita menjadi anak yang saleh. Anak yang kelak menjadi penerus risalah para nabi dan rasul. Anak yang selalu meninggikan kalimat tauhid dan mengajarkan Al-Qur’an dan kelak kita bersama anak-anak kita di surga Allah Swt.