Suatu Kajian Dasar Hukum dan Pedoman Berkesenian dalam Agama Islam oleh Dr. Arifin, M.Si

Oleh: Dr. Arifin, M.Si

Pendahuluan

Konsep dasar yang harus dipahami oleh setiap pribadi muslim dalam proses kehidupan di dunia ini adalah: (1) setiap aktivitas pikiran dan tindakan harus bernilai positif untuk kemaslakhatan hidup bersama sesuai dengan tujuan Allah S.W.T menciptakan manusia di muka bumi (Q.S.Al Mukminun/23: 115 dan Q.S. Al Baqarah/02: 30) dan (2) seluruh wujud aktivitas pikiran dan tindakan sehari-hari manusia harus dikemas dan bernilai ibadah atau untuk mengabdi hanya kepada Allah S.W.T (Q.S. Adz Dzariyat/51: 56). Dalam rangka meningkatkan kualitas pemberdayaan dua konsep tersebut, maka setiap pribadi muslim harus terlibat aktif dalam proses dakwah Islamiah secara komprehensif (Yunahar Ilyas, 2009). Pada hakikatnya dakwah (mengajak, menyeru) pada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah kewajiban setiap pribadi muslim. Allah S.W.T berfirman, yang artinya “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran/03: 104). Kata minkum dalam Q.S. 03: 104 tersebut bisa bermakna dua, yaitu: (1) berdakwah bisa menjadi kewajiban individual (fardhu ‘ain), jika memiliki kemampuan bekal berdakwah dan (2) berdakwah bisa menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah).

Pada hakikatnya, setiap pribadi muslim wajib berdakwah bisa secara pasif atau aktif. Secara pasif adalah berdakwah pada diri sendiri dan anggota keluarga inti (nuclear  family) dalam bentuk menjadi contoh tauladan dalam berakhlak mulia. Perhatikan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya “…Sampaikanlah apa yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat…” (H.R. Bukhari). Sasaran dakwah (mad’u) Islamiyah adalah kepada beragam ras, ethnik, status dan sosiokultural masyarakat. Oleh karena itu metode dalam berdakwah harus: (1) dilakukan secara tepat sesuai dengan kondisi ruang dan waktu (space and time) dengan memperhatikan qaidah: bil hikmah wal mau’izhah al hasanah wa jaadilhum billati hia akhsan, (2) menggunakan beragam metode, strategi dan perencanaan secara multidimensi. Perhatikan firman Allah yang artinya (a) “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An Nahl/16: 125), (b) “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak berdasarkan science). Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. Al Isyra’/17: 36).

Beberapa landasan realitas Qur’ani dan Hadits tersebut di atas, memberikan kepahaman pada setiap muslim, yaitu: (1) pada dasarnya semua aktivitas dan tindakan hamba Allah dalam konteks kehidupan sosial adalah bernuansa dakwah (menyuguhkan dan menstimulasi) untuk berbuat baik, mencegah kemungkaran, dan (2) mengharuskan setiap pribadi muslim untuk melakukan beragam cara dakwah Islamiah melalui jalur: politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, kesenian (seni budaya) dan sebagainya. Menggunakan beragam media berdakwah tersebut adalah sebagai suatu keniscayaan dalam menyuguhkan kehadiran agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin (Q.S. Al Anbiya’/21: 107 dan Q.S. An Nahl/16: 89). Persoalan yang masih sering muncul dalam tataran sosiologis (kehidupan kemasyarakatan) adalah bagaimana format dakwah Islamiah di dunia kesenian (seni budaya) dan sebagainya?. Karena luasnya jangkauan tema kajian tentang pedoman berkesenian (berdakwah melalui seni budaya), maka penulis akan membatasi kajian berikut dalam tiga persoalan, yaitu: (1) bagaimana pengertian berkesenian (kegiatan kesenian) menurut pandangan syariat Islam?, (2) bagaimana status hukum berkesenian: patung, gambar, nyanyian menurut padangan syariat Islam? dan (3) bagaimana pedoman pelaksanaan berkesenian (seni-budaya) menurut syariat Islam?.

Pengertian Kebudayaan

Perlu diketahui, dalam kajian atropologi, telah ditemukan kurang lebih ada 160 macam definisi atau pengertian tentang kebudayaan, yang  dikemukakan oleh para ahli dan semua definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengertian kebudayaan adalah ‘seluruh cipta, rasa dan karsa yang dihasilkan manusia dalam proses hidupnya, untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup lahir dan batin demi terwujudnya suatu tujuan tertentu dalam kehidupan pribadi atau sosial’ (Arifin, 2012; Rachman Assegaf, Abd. 2006). Para antropolog sepakat, bahwa ruang lingkup kebudayaan itu sangat luas, yaitu menyangkut tiga konsep: (1) seluruh kompleks ide, pikiran, gagasan, keyakinan yang diproduk oleh hati-pikiran manusia sepanjang proses hidupnya (idea system), (2)  seluruh kompleks kelakuan berpola, kegiatan-kegiatan, tata cara, kebiasaan hidup manusia sepanjang proses hidupnya (social system), (3) seluruh peralatan, sarana bendawi yang dipakai manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (technology system) (Koentjaraningrat. 1982; Koentowijoyo. 1999). Semua para ahli antropologi sepakat, bahwa kesenian itu adalah salah satu bagian dari kebudayaan dan merupakan sarana yang dapat digunakan  untuk menuangkan rasa dan karsa keindahan (aesthetic) dari dalam jiwa-pikiran manusia di sepanjang hidupnya. Oleh karena itu kegiatan kesenian (berkesenian) adalah ‘suatu keniscayaan’ dalam proses kehidupan manusia, baik dalam konteks kehidupan personal maupun kolektif (Qardhawi Yusuf. 1993; Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018).

Berdasarkan pengertian kebudayaan atau kesenian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian berkesenian (kegiatan kesenian) Islam adalah ‘seluruh aktualisasi ekspresi dari kompleks ide, kompleks kelakuan berpola dan sistem teknologi manusia muslim dalam proses kehidupan sehari-hari yang bersumber pada nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah makbul’. Perhatikan beberapa orientasi dasar berikut ini yang menjelaskan bahwa Islam sangat menghargai (mengharuskan) setiap pribadi muslim untuk mengekspresikan cipta, rasa dan karsanya secara positif atau secara seimbang dalam kehidupan yang mempunyai nilai kemaslakhatan hidup bersama sebagai rasa syukur atas semua karunia nikmat dari Tuhan. Allah S.W.T berfirman yang artinya: (1) “Yang telah menciptakanmu, kemudian menyempurnakanmu serta menyeimbangkanmu” (Q.S. Al Infithar/82: 7). Imam Al Qurtubi, menjelaskan arti ayat ‘menyempurnakan, menyeimbangkan’ adalah keharusan setiap manusia untuk mewujudkan keseimbangan semua potensi dirinya demi meraih kualitas hidup manusia itu sendiri’, (2) “Dan Allah S.W.T menjadikan bagi kalian tempat bernaung dari apa yang telah diciptakan-Nya, dan Dia menjadikan bagi kalian tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia juga menjadikan bagi kalian pakaian yang melindungi kalian dari panas serta pakaian yang melindungi kalian dari kekerasan. Demikianlah Dia menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian supaya kalian berserah diri” (Q.S. An Nahl/ 16: 81), (3) “Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kehidupan akhirat, dan janganlah (kamu) lupa bagianmu di dunia ini, dan berbuatlah baik kepada sesama sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Q.S. 28: 77), (4) “Ya Tuhan pemelihara kami, anugerahilah kami segala yang baik di dunia, dan segala yang baik di akhirat, serta peliharalah kami dari azab neraka” (Q.S. Al Baqarah/02: 201). Semua ulama sepakat, bahwa ‘bagianmu di dunia’ adalah semua aspek kehidupan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya (berkesenian), keamanan dan bidang-bidang lainnya (Hamka, 1979; Qardhawi Yusuf. 1980; Yunahar Ilyas, 2009; Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018).

Para antropolog sepakat, bahwa minimal ada delapan pranata hidup manusia yang selalu harus diwujudkan, direalisasikan secara seimbang disepanjang hidup bermasyarakat untuk memenuhi beragam kebutuhan khusus, agar tidak terjadi disintegrasi sosial, yaitu: (1) pranata agama atau kepercayaan, (2) pranata keluarga atau kekerabatan, (3) pranata ekonomi atau mata pencaharian hidup, (4) pranata pendidikan, (5) pranata ilmu pengetahuan atau penelitian, (6) pranata rekreasi dan kesenian atau keindahan, (7) pranata kesehatan, dan (8) pranata politik atau kekuasaan (mengatur kehidupan kelompok) (Koentjaraningrat. 1982; Koentowijoyo. 1999). Dimanapun manusia hidup dan dalam kondisi apapun dia, pasti manusia memerlukan pemberdayaan kedelapan pranata tersebut secara seimbang dan berkualitas, dan kedelapan konsep pranata tersebut seratus persen telah dijelaskan atau disinggung dalam Al Qur’an dan Hadits shahih. Perhatikan firman Allah, yang artinya “…Dan Kami turunkan Kitab (Al Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, (berfungsi) sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)” (Q.S. An Nahl/16: 89).

Perlu dipahami, bahwa sesungguhnya orang-orang yang mencintai atau memahami Al Qur’an (secara komprehensif), akan bisa melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Al Qur’an itu ingin menanamkan di dalam hati dan pikiran setiap hamba muslim rasa keindahan (aesthetic) terhadap semua fenomena yang terbentang di seluruh dunia, baik dari atas, dari bawah maupun dari sekelilingnya, baik di langit, di bumi, pada tumbuh-tumbuhan, hewan dan pada diri manusia itu sendiri (Qardhawi Yusuf. 1993), disamping itu bagi orang yang beriman ketika dibacakan atau disebut nama Allah S.W.T, terutama dalam lantunan ucapan yang indah akan bergetarlah hati-pikiran mereka.

Perhatikan pernyataan Allah S.W.T, yang artinya: (1) “Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata” (Q.S. Qaaf/50: 6-7), (2) “Dan menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpandangan indah…” (Q.S. An Naml/27: 60), (3) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (Q.S. Al Anfal/08: 2). Rasulullah s.a.w bersabda, yang artinya “Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan, kesombongan adalah menolak kebenaran dan membenci manusia” (H.R. Muslim). Jadi, manusia muslim harus terlibat aktif dalam pengembangan salah satu dimensi hidup yaitu kesenian (aesthetic) dalam proses hidup sosial sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Beberapa kaidah atau konsep Islami berikut yang harus menjadi orientasi setiap pribadi muslim dalam memahami hakikat kesenian (seni-budaya) adalah: (1) seni merupakan kesadaran aesthetic yang dikodratkan pada manusia dan karenanya melekat pada dirinya sejak lahir, karena manusia dibekali oleh Allah S.W.T dengan kemampuan akal budi (cipta, rasa dan karsa) yang berwujud rasio, nurani dan imajinasi, (2) karya seni merupakan ekspresi kesadaran aesthetic manusia tentang realitas hidup melalui suatu medium baik berupa: kata, gerak, benda, tulisan atau lainnya dan karena itu berkesenian merupakan keniscayaan aktualisasi setiap manusia, (3) seni budaya adalah karya seni yang sudah membudaya dalam suatu komunitas tertentu dan berkembangnya seni merupakan pertanda adanya kekayaan dan kelengkapan budaya (peradaban) komunitas bersangkutan yang sangat dihargai oleh syariat Islam, (4) agama Islam berfungsi sebagai sumber nilai, motivasi dan panduan dalam kehidupan berkesenian secara khusus dan berkebudayaan secara umum, (5) seni budaya dalam syariat Islam termasuk wilayah muamalah duniawiyah dengan kaidah ‘pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan kecuali ada nas yang mengharamkan’, dan dari perspektif makasid syariah setidaknya kesenian merupakan kebutuhan yang melengkapi dan memperkaya hidup manusia (maslahah tahsiniah) multidimensi, dan karena itu agama Islam mendorong berkembangnya kesenian (Hamka, 1979; Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018). Kelima kaidah tersebut tidak terbantahkan kebenarannya dalam perspektif syariat Islam sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits shahih.

Hukum Berkesenian dalam Pandangan Islam

Menurut para ahli, ada beragam macam bentuk kesenian, antara lain: seni patung, seni gambar atau seni lukis, seni arsitektur, seni suara, seni sastra dan sebagainya. Karena keterbatasan ruang dan waktu, dalam kajian ini hanya disinggung secara singkat tentang seni patung, gambar (lukis) dan seni suara (menyanyi), karena kedua macam seni ini masih sering terjadi silang pendapat dikalangan umat Islam. Berikut beberapa pandangan para ulama tentang status hukum berkesian, khususnya seni patung, seni gambar (lukisan) dan seni suara (bernyanyi).

  1. Seni patung, seni gambar atau melukis

Ada empat pendapat ulama (para ahli) tentang seni patung atau gambar (shura) tentang makhluk hidup, yaitu pendapat: (1) hukumnya haram kegiatan membuat patung atau melukis atau menggambar makhluk hidup. Hal ini berdasarkan hadits, yang artinya “Orang-orang yang paling pedih siksanya, ialah orang yang meniru ciptaan Allah S.W.T” (H.R. Bukhari), “Barangsiapa membikin satu shurah (patung/gambar), maka di hari kiamat ia dipaksa memberi ruh kepadanya, padahal ia tidak bisa” (H.R. Bukhari), (2) hukumnya haram membuat patung, gambar (shura) yang dijadikan perhiasan (dikagumi) dan disembah, tetapi tidak haram membuat gambar atau lukisan yang ada di atas kain dan yang sejenisnya (kertas) yang posisinya dihina (diinjak, diduduki, dijadilan alas kaki, bantal dan sejenisnya). Hal ini berdasarkan hadits yang artinya: “Malaikat tidak akan masuk di satu rumah yang ada padanya anjing atau shurah-shurah” (H.R. Bukhari),  “Aisyah berkata: Saya punya satu kain yang bergambar tersangkut di satu rak, padahal Nabi s.a.w shalat menghadap dia. Maka sabda Nabi, Jauhkanlah dia dari hadapanku, kemudian kami jadikan dia (kain bergambar tersebut) sebagai bantal sandaran” (H.R. Bukhari), (3) hukumnya haram membuat patung dan gambar/ lukisan yang wujudnya utuh (seluruh badan), dan tidak haram apabila patung dan gambar tersebut hanya sebagian anggota badan atau tidak bernyawa. Hal ini berdasarkan hadits yang artinya “Tiap-tiap tukang shurah (tempatnya) di neraka, Buat tiap-tiap satu shurah yang ia bikin itu, Allah jadikan satu badan yang menyiksa dia di Jahannam. Dan Ibn Abbas berkata, Kalau terpaksa engkau hendak kerjakan, bikinlah shurah-shurah pohon dan barang-barang yang tidak bernyawa” (H.R. Muslim), (4) hukumnya haram membuat patung dan gambar  atau lukisan yang sifatnya sangat dikagumi dan disembah (dipuja-puja), baik itu patung atau gambar benda hidup atau benda mati, dan hukumnya tidak haram apabila tidak ada niat untuk dikagumi atau dipuja (disembah). Hal ini berdasarkan hadits yang artinya: “Ketika Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah s.a.w, satu gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah, yang di dalamnya ada shurah-shurah. Maka sabda Rasulullah s.a.w: Sesungguhnya mereka itu, apabila ada diantara mereka itu seorang yang shaleh, lalu ia mati, maka mereka bikin tempat sembahyang di atas kuburnya, dan mereka bikin padanya shurah-shurah itu. Mereka itu orang-orang yang jahat menurut Allah di hari kiamat” (H.R. Muslim), “Telah berkata Aisyah: Saya biasa bermain boneka (anak-anak patung) di hadapan Rasulullah s.a.w” (H.R. Bukhari).

Berdasarkan beberapa hadits tersebut di atas, sebagian besar ulama (jumhur ulama) berkesimpulan (hal ini sebagai pandangan yang paling kuat), yaitu membuat patung atau gambar (shurah) atau lukisan hidup hukumnya boleh, tetapi hukumnya berubah menjadi haram apabila tujuan atau fungsi membuat patung atau gambar atau lukisan tersebut dijadikan sebagai sarana pemujaan atau dipuja-puja atau sangat dikagumi, sangat dicintai atau ditakuti akan disembah-sembah oleh orang lain, karena hal itu termasuk perbuatan syirik dan termasuk dosa besar terbesar (Qardhawi Yusuf. 1980; Hassan, A.1994). Perhatikan firman Allah yang artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk” (Q.S. Al An’am/6: 82), “Janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping (selain) Allah S.W.T, nanti engkau menjadi tercela dan terhina” (Q.S. Al Isyra’/17: 22), “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah S.W.T (saja) dan janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya” (Q.S. An Nisa’/04: 36).

  • Seni suara atau menyanyi dan mendengarkan musik

Menurut para ahli (ulama) ada perbedaan pandangan tentang seni suara atau melagukan sesuatu dan mendengarkan musik dalam pandangan syariat Islam, berikut dikemukakan pokok-pokok pikiran dari kedua pandangan yang mengharamkan dan membolehkan (menghalalkan), antara lain:

Pertama, pandangan tentang hukum melagukan bacaan Al Qur’an (tilaawatil Qur’an) dengan indah. Meskipun ada sebagian kecil pandangan yang tidak membolehkan melagukan bacaan Al Qur’an, tetapi sebagian besar ulama (jumhur ulama) membolehkan bahkan mensunnahkan melagukan bacaan Al Qur’an sesuai dengan kaidah tajwidnya dengan indah. Pandangan yang tidak membolehkan melagukan bacaan Al Qur’an tidak memiliki dasar nas yang kuat, sehingga tidak bisa diikuti dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam beribadah.

Dasar hukum Al Qur’an dan Hadits shahih yang membolehkan melagukan dengan indah bacaan Al Qur’an sesuai dengan kaidah tajwidnya adalah firman Allah S.W.T, yang artinya: “Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan atau tartil” (Q.S. Al Muzammil/73: 4). Rasulullah s.a.w bersabda, yang artinya: (1) “Bukanlah termasuk ummatku orang yang tidak melagukan Al Qur’an” (H.R. Bukhari), (2) “Hiasilah Al Qur’an itu dengan suaramu” (H.R. Muslim), (3) “Apa yang diizinkan Allah pada sesuatu, apa yang diizinkan Allah kepada Nabi-Nya (adalah) untuk membaguskan dalam melagukan Al Qur’an yang dia baca dengan keras” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad), (4) “Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w membaca dalam shalat  isyak  surat Ath Thiin, maka aku belum pernah mendengar suara yang paling indah daripada beliau atau yang paling bagus bacaannya dibandingkan beliau” (H.R. Bukhari dan Muslim), (5) “Allah S.W.T tidak pernah mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan Nabi s.a.w yang indah suaranya melantunkan Al Qur’an dan mengeraskannya” (H.R. Bukhari dan Muslim), (6) “Di Akherat nanti, kepada qari-qariah dan hafidh-hafidhah akan diperintahkan, “Bacalah dan naiklah ke surga, dan bacalah Al Qur’an dengan tartil seperti engkau membacanya dengan tartil pada waktu di dunia. Sebab tempat tinggalmu di surga adalah berdasarkan ayat paling akhir yang engkau baca” (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi). Berdasarkan nas Al Qur’an dan beberapa Hadits shahih tersebut di atas sangat jelas bahwa hukum melagukan bacaan Al Qur’an secara indah dan keras sesuai dengan kaidah tajwidnya adalah boleh dan merupakan sunnah Rasulullah s.a.w. untuk diikuti dan dilaksanakan oleh setiap hamba muslim (Yaqub, Ali Mustafa. 1996; Usman Najati, M. 2005).

Kedua, pandangan para ulama tentang menyanyikan lagu dan mendengarkan musik. Perlu direnungkan, sebagaimana uraian tersebut di atas, bahwa agama Islam sangat memperhatikan tentang kebersihan dan  keindahan  (aesthetic). Agama Islam sangat memperhatikan pentingnya mendidik semua indra manusia agar dapat merasakan keindahan dan menikmatinya di berbagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas rasa syukur kepada Allah S.W.T. Perlu dipahami, bahwa ada tiga elemen dasar dalam membangun dan meningkatkan kualitas kepribadian manusia menurut Islam, yaitu: (a) elemen kualitas ilmu pengetahuan, (b) elemen kualitas budaya, dan (c) elemen kualitas spiritual (Qardhawi Yusuf. 1999; Syahrul Akmal Latif. 2020). Wujud keindahan (aesthetic) itu bisa dirasakan oleh hati-pikiran, dilihat oleh mata dan didengar oleh pendengaran. Berikut kita cermati argumentasi dua pandangan yang mengharamkan dan menghalalkan atau membolehkan untuk menyanyi dan mendengarkan musik.

Pandangan yang mengharamkan menyanyi, mendengarkan musik dan beberapa sisi kelemahan argumentasinya adalah:

  1. Mereka mengharamkan menyanyi dan mendengarkan musik, adalah berdasarkan firman Allah S.W.T yang artinya “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” (Q.S. Luqman/31: 6). Kelompok yang mengharamkan nyanyian adalah menafsirkan maksud dari kalimat ‘perkataan yang tidak berguna’ tersebut adalah nyanyian. Menurut Ibn Hazm, menggunakan dalil Q.S.31:6 sebagai alasan mengharamkan nyanyian adalah tidak benar, tidak relevan, karena tidak semua nyanyian itu dinilai sebagai ‘perkataan yang tidak berguna’. Jadi, pandangan ini dari perspektif atau paradigma irfani dan paradigma burhani tidak bisa diterima.
  2. Kelompok yang mengharamkan nyanyian adalah berdasarkan ayat Al Qur’an yang artinya “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk (al laghwuu), mereka berpaling dari padanya dan berkata: Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh” (Q.S. Al Qashash/28: 55). Bagi kelompok yang mengharamkan nyanyian menafsirkan bahwa maksud kalimat ‘perkataan yang buruk’ (al laghwuu) dalam ayat tersebut adalah ‘nyanyian’. Menurut ulama Yusuf Al Qardhawy: (1) tidak bisa dipastikan setiap nyanyian dinilai sebagai perkataan yang buruk (al laghwuu), karena tidak ada satupun nas shahih yang memastikan bahwa al laghwuu dalam ayat tersebut bermakna nyanyian, (2) sejatinya yang dimaksud ‘perkataan buruk’ (al laghwuu) dalam ayat tersebut adalah: mencaci maki, menfitnah atau berbicara kotor/ jorok, (3) perlu dipahami bahwa semua perbuatan, tindakan atau permainan itu nilainya sangat tergantung pada kualitas niatnya, apabila hati, pikiran dan niatnya baik, maka tindakan tersebut akan bernilai ibadah. Rasulullah s.a.w bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah S.W.T tidak melihat (menilai) rupa (wujud fisik) dan harta kamu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu” (H.R. Muslim), “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
  3. Kelompok yang mengharamkan nyanyian adalah berdasarkan hadits, yang artinya “Setiap sesuatu selain bagian dari dzikir kepada Allah adalah sisa-sia dan permainan belaka, kecuali empat hal: latihan memanah, candaan suami kepada istrinya, seorang lelaki yang melatih kudanya, dan mengajarkan renang” (HR. Tirmidzi), “Setiap hal yang melalaikan seseorang muslim hukumnya batil, kecuali memanah dengan busur, melatih kuda dan canda dengan istri” (H.R. Ibn Majah). Menurut para ahli, kedua hadits tersebut shahih, tetapi tidak dimaksudkan untuk menetapkan status hukum nyanyian adalah haram. Kelompok yang mengharamkan nyanyian menilai semua jenis permainan selain yang disebut dalam hadits tersebut adalah haram, padahal banyak sekali jenis permainan dalam konteks kebudayaan di masyarakat, misalnya: permainan pedang (anggar), bermain catur, perlombaan lari cepat, permainan gulat dan sebagainya yang juga disinggung dalam hadits shahih. Oleh karena itu pandangan kelompok yang menilai semua jenis permainan selain yang tidak disebut dalam Hadits tersebut di atas adalah haram merupakan pandangan yang sempit dan salah (Qardhawi Yusuf. 1993). Jadi, pandangan ini dari perspektif atau paradigma bayani, paradigma irfani dan  paradigma burhani tidak bisa diterima.

Berdasarkan pandangan mayoritas ulama yang merujuk pada dasar-dasar nas yang shahih dan pandangan para sahabat serta para tabi’in, dapat disimpulkan bahwa: (1) tidak ada larangan dalam nas qath’i yang mengharamkan kesenian dalam bentuk nyanyian dan mendengarkan musik, (2) argumentasi kelompok yang mengharamkan kesenian nyanyian dan mendengarkan musik adalah lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah, baik menurut paradigma bayani, paradigma irfani dan paradigma burhani dalam membangun peradaban agama Islam, bahkan pandangan yang mengharamkan nyanyian dinilai sebagai pandangan yang merugikan proses dakwah Islamiyah secara kaffah (multidimensi dan integral) (Hamka, 1979; Qardhawi Yusuf. 1993; Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018).

Perhatikan pandangan dan argumentasi kelompok yang membolehkan berkesenian (tidak mengharamkan kesenian nyanyian dan mendengarkan musik) dalam uraian berikut, antara lain:

  1. Mendengarkan musik atau menyanyikan lagu dalam agama Islam adalah dibolehkan, bahkan disunahkan dalam situasi yang menyenangkan atau menggembirakan perasaan hati dan pikiran sesama, misalnya: pada kegiatan perkawinan, hari raya, aqiqah, kedatangan kerabat yang lama tidak bertemu. Hal ini berdasarkan beberapa hadits shahih sebagai berikut, yang artinya: (1) “Dari Aisyah r.a, bahwa ketika dia menghantar pengantin perempuan ke tempat laki-laki Ansar, maka Nabi bertanya: Hai Aisyah! Apakah mereka ini disertai dengan suatu hiburan?, Sebab orang-orang Ansar gemar sekali terhadap hiburan” (H.R. Bukhari), (2) “Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Aisyah pernah mengkawinkan salah seorang kerabatnya dari Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w datang dan bertanya: Apakah akan kamu hadiahkan seorang gadis itu?. Mereka menjawab: Betul, Rasulullah s.a.w bertanya lagi: Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab: Tidak!. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar adalah suatu kaum yang merayu. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamu” (H.R. Ibnu Majah), (3) “Dari Aisyah, sesungguhnya Abu Bakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka diusirlah dua gadis itu oleh Abu Bakar, lantas Nabi s.a.w membuka wajahnya dan berkata kepada Abu Bakar: Biarkanlah mereka itu wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang)” (H.R. Bukhari dan Muslim). Jadi, kegiatan menyanyi atau mendengarkan musik adalah boleh, bahkan disunnahkan untuk memberikan rasa senang, bahagia, memperkuat silaturahim dan meningkatkan kualitas rasa bersyukur atas beragam nikmat dari Allah S.W.T.
  2. Menurut para ulama, bahwa beberapa hadits yang melarang (mengharamkan) menyanyi dan mendengarkan musik status Haditsnya adalah dhaif atau lemah atau cacat. Diantara pendapat para ulama antara lain: (1) Al Qadhi Abubakar bin al Arabi, mengatakan, bahwa tidak ada satupun Hadits yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya nyanyian’, (2) Ibnu Hazm, mengatakan, bahwa semua Hadits yang menerangkan tentang haramnya nyanyian adalah batil dan palsu, (3) Imam Ghazali, mengatakan bahwa berdasarkan beberapa Hadits shahih dapat disimpulkan bahwa nyanyian dan permainan bukanlah sesuatu yang diharamkan, (4) Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi berpendapat, bahwa berdasarkan nas Al Qur’an dan Hadits, kegiatan menyanyi bukan sesuatu yang diharamkan (Qardhawi Yusuf. 1980).
  3. Allah S.W.T melarang setiap manusia yang mengharamkan atas dirinya atau atas orang lain sesuatu yang baik dari apa yang dianugerahkan oleh Allah S.W.T pada manusia dengan tujuan yang baik untuk meningkatkan rasa syukur pada-Nya dan meraih ridha-Nya, karena masalah halal dan haram itu hak Allah saja (harus jelas berdasarkan Al Qur’an dan Hadits shahih. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya: (1) “Katakanlah, terangkanlah kepadaku tentang rizeki yang diturunkan kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah: Apakah Allah S.W.T telah memberikan ijin kepadamu (tentang hal ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah” (Q.S. Yunus/10: 59), (2) “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka yang mengharamkan apa yang telah Allah S.W.T rizekikan  kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah S.W.T. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk” (Q.S. Al An’am/06: 140). Jadi, setiap pribadi muslim harus super hati-hati bila mengatakan bahwa sesuatu itu hukumnya haram, sebab kalau tidak ada nas yang jelas dalam Al Qur’an dan Hadits shahih yang mengatakan haram, maka ancamannya adalah akan disesatkan dan tidak mendapat petunjuk dari Allah S.W.T (Hamka, 1979; Qardhawi Yusuf. 1980).
  4. Imam Asy Syaukani menjelaskan dalam kitabnya ‘Nailul Autar’, bahwa ulama Madinah dan ulama-ulama dari kalangan Zahiriyah serta jama’ah dari kaum sufi berpandangan sama yaitu kegiatan menyanyi itu dibolehkan, meskipun dengan gitar dan biola (Asy Syaukani, Imam, 1994). Imam Ar Rauyani dan Syekh Abu Manshur Al Faurani berpendapat, bahwa sesungguhnya madzhab Imam Malik bin Anas adalah membolehkan menyanyi dengan memakai alat musik atau gitar. Syekh Al Adfuwi dalam kitabnya Al Imta, mengatakan: Bahwa sesungguhnya Imam Ghazali di dalam sebagian karya fiqihnya telah memindahkan kesepakatan para ulama tentang bolehnya (halal) menyanyi. Ibnu Thahir menukil ijma’ para sahabat dan tabi’in atas bolehnya menyanyi tanpa musik, At Taj Al Fazaari dan Ibnu Quraibah juga menukil ijma’ ulama Haramain atas bolehnya menyanyi tanpa musik (Qardhawi Yusuf. 1999).
  5. Prof. Dr. K.H. Hamka, berpendapat dalam karya monumentalnya yaitu Tafsir Al Azhar antara lain:
  6. Seni sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan dan sesuatu yang mengandung keindahan adalah seni.
  7. Keindahan fenomena hidup di alam dunia ini adalah diciptakan oleh Allah Yang Maha Indah untuk bisa dikelola dan dinikmati oleh semua manusia dengan cara (metode) membangun kualitas pemahaman dan pengalaman estetik spiritual, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebesaran Allah S.W.T.
  8. Kualitas berkesenian Islam, akan menjadi sarana realisasi refleksi spiritual dan pencapaian pengetahuan iluminatif tentang Tuhan, sehingga tercapai kualitas tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat dalam beribadah.
  9. Interkoneksi antara berkesenian dengan syariat agama dalam Al Qur’an dan Hadis makbul harus diwujudkan, dengan misi: (a) seni sebagai peningkatan keimanan hamba Muslim (Q.S. Al Hijr/15: 16; Q.S. An Nahl/16: 6; Q.S. An Naml/27: 60; As Saffat/37: 6; Q.S. Fusillat/41: 12; Q.S. Qaf/50: 6, 7 dan 8; Q.S. Al Mulk/67: 5. (b) keindahan (kesenian) menjadi salah satu cara untuk memelihara diri (Q.S. Al A’raf/7: 26) dan (c) etika dalam berhadapan dengan seni (Q.S. Al Isra’/17: 64; Q.S. Luqman/31: 6, dan Q.S. Saba’/34: 11 dan 13 (Hamka, 1979).

Uraian tentang pandangan yang membolehkan adanya kegiatan menyanyi dan mendengarkan musik serta kegiatan berkesenian lainnya di atas mempertegas bahwa:

  1. Berkesenian secara Islami dalam kehidupan bermasyarakat dapat dikategorikan sebagai salah satu media dakwah Islamiah, yang akan semakin memperkaya khasanah dakwah Islam untuk kemaslakhatan kehidupan bersama.
  2. Ketika setiap pribadi muslim dalam proses-proses sosialnya terlibat aktif dalam kegiatan berkesenian Islami, maka insya Allah dia telah terlibat dalam proses dakwah Islamiah, yang setiap pribadi muslim diwajibkan untuk berdakwah sesuai dengan peranan dan statusnya masing-masing.
  3. Kesenian dan kebudayaan adalah masalah dunia dan masalah kemanusiaan, dalam hal hukum terkena ketentuan umum, yaitu ‘bara’ah asliyah’, pada dasarnya boleh atau mubah sampai ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah). Memang masalah kesenian banyak disoroti oleh Nabi s.a.w, seperti: seni patung, seni suara, seni tari dan seni lukis, hal itu mengandung makna, agar setiap hamba muslim hati-hati dan dipahami dalam rangka menjaga kemurnian tauhid dan keimanan.

Renungkan arti firman Allah S.W.T dan sabda Rasulullah s.a.w berikut: (1) “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (Q.S. Fushshilat/41: 33), (2) “Setiap kebaikan adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan kebaikan (kepada orang lain) (pahalanya) seperti orang yang melakukannya” (H.R. Baihaqi, shahih Al Jami’), (3) “Siapa yang mengajak kebaikan, baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan siapa yang mengajak kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (H.R. Muslim), (4) “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman pada hari kiamat: Mana orang-orang yang saling mencintai dengan keagungan-Ku, hari ini Aku akan naungi mereka pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Ku” (H.R. Muslim) (Abdurrahman Al Jaami’. 2006).

Pedoman Pelaksanaan Berkesenian dalam Pandangan Islam

Berdasarkan uraian konsep tentang berkesenian dan pandangan mayoritas ulama (jumhur ‘ulama) yang membolehkan kegiatan berkesenian tersebut di atas, maka berikut ini perlu diperhatikan beberapa pokok pikiran tentang pedoman pelaksanaan berkesenian (seni patung, seni lukis (gambar), seni suara (menyanyi) dan mendengarkan musik) antara lain:

  1. Harus disadari bahwa kesenian hakikatnya dapat digunakan sebagai media yang efektif dalam berdakwah kepada seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesadaran manusia untuk tidak semata-mata menyikapi kehidupan ini dari dimensi positivisme, kuantitatif atau numerik (objektivis), tetapi juga harus meningkatkan kualitas dimensi idealisme, kualitatif, romantis (subjektivis), karena hakikatnya manusia merupakan makhluk ciptaan terbaik Allah S.W.T. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin/95: 4). Oleh karena itu pengembangan kesenian harus memperhatikan upaya membangun kualitas keseimbangan dimensi positivis (objektivis) dan dimensi idealis (subjektivis) pada diri manusia yang berbasis Al Qur’an dan Hadits shahih, sebagai realisasi dari prinsip ‘masuklah kedalam agama Islam secara kaffah.  “Wahai orang-orang yang beriman, Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan” (Q.S. Al Baqarah/02: 208),  “Di hari itu, Allah akan memberi balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)” (Q.S. An Nur/24: 25). Banyak sekali cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengungkap keindahan alam, keindahan fenomena kehidupan yang menunjukkan akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah S.W.T melalui seni lukis dan seni suara.
  2. Pengembangan kesenian (seni-budaya) harus mampu meningkatkan kualitas kesadaran diri setiap manusia sebagai hamba Tuhan yang memiliki fitrah sebagai makhluk pribadi dan sosial, sebagai makhluk yang selalu ingin dekat kepada Tuhannya, sebagai makhluk yang selalu siap menghadapi ujian hidup, sebagai makhluk yang harus berikhtiar dan bertawakkal. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Ar Rum/30: 30).
  3. Pengembangan kesenian (seni-budaya) harus mampu membangkitkan kesadaran hati-pikiran setiap hamba muslim untuk terus mencintai perubahan atau dinamika hidup serta mendorong (memotivasi) mentalitas manusia untuk terus bersemangat dan berjuang dalam hidup. Melalui media kesenian (gambar, lukisan dan suara atau nyanyian) sangat mudah dalam membangkitkan semangat dinamik dan semangat untuk terus berjuang dalam hidup meraih tujuan mulia, jangan sebaliknya yaitu menciptakan karya seni yang membangkitkan sifat fatalistis, melankolis, pemalas dan sejenisnya. Perhatikan firman Allah S.W.T yang artinya “Orang-orang yang beriman  dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwanya, adalah (akan meraih) derajat yang tinggi di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan” (Q.S. At Taubah/09: 20).
  4. Pengembangan kesenian (seni budaya) harus mampu mendorong ghirah setiap individu untuk suka mengembangkan science atau sangat mencintai perkembangan science dan menyadarkan secara internal akan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai bekal menjalani beragam tugas atau kegiatan hidup menurut aturan syariat Islam. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya “Dan janganlah kamu mengikuti (melakukan) sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak berdasarkan science). Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. Al Isyra’/17: 36). Begitu sangat mudah membangkitkan semangat mencintai perkembangan science melalui karya-karya seni, terutama seni sastra, nyanyian dan seni lukis, seni arsitektur dan sebagainya.
  5. Pengembangan kesenian (seni-budaya) harus memperkokoh tauhid, aqidah, jangan sampai pengembangan seni (seni patung, seni gambar, seni suara) semakin menjauhkan manusia dari beribadah kepada Allah S.W.T, atau jangan sampai pengembangan kesenian semakin menyemarakan pratik-praktik kesyirikan, misalnya: acara pentas seni bersih desa, membuat patung ogo-ogo atau raksasa dan sejenisnya. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya “…Dan janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain disamping Allah S.W.T, nanti engkau dilemparkan kedalam neraka dalam keadaan  tercela dan dijauhkan (dari pertolongan/rahmat Allah S.W.T)” (Q.S. Al Isyra’/17: 39), “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Q.S. Al Hajj/22: 62).   
  6. Pengembangan kesenian (seni-budaya) harus diajuhkan dari hal-hal yang bersifat fasik, yaitu menukar kebenaran dengan kebatilan (hedonisme, pornografi, memuja nafsu, mengkhianti janji dan sejenisnya), menimbulkan konflik, perpecahan, putusnya silaturahim dan merusak tatanan kehidupan yang baik. Perhatikan firman Allah S.W.T, yang artinya “(ciri orang fasik) yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” (Q.S. Al Badarah/02: 27).  Oleh karena itu pengembangan kesenian harus bisa menjadi media paling efektif dalam memperkokoh persatuan, ukhuwwah Islamiah.
  7. Dalam pengembangan kesenian: (a) dilarang melukis lukisan yang bersifat pornografi, serta melukis tidak bermanfaat, (b) dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan dewa-dewa, kebiasaan pengarang yang mengkritik Tuhan, (c) dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang tidak sopan atau cabul, (d) dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan gerakan sensual dan sexual, (e) dilarang berpeluk-pelukan antara laki-laki dan perempuan atas nama tarian, (f) dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan kekerasan, kebencian dan kekejaman, dan (g) dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat. Semua larangan tersebut terdapat sumber-sumber nasnya, baik dalam Al Qur’an dan Hadits shahih (Hamka, 1979; Qardhawi Yusuf. 1980; Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018).

Kesimpulan

Uraian singkat tentang dasar hukum dan pedoman kegiatan berkesenian tersebut di atas, dapat memperjelas pemahaman kita sebagai seorang muslim tentang kedudukan berkesenian sebagai berikut: (1) tidak ada larangan dalam syariat Islam secara qath’i, tentang kegiatan berkesenian dalam proses-proses kehidupan,  bahkan pengembangan kesenian sebagai wujud menciptakan kualitas keseimbangan karya manusia pada dimensi objektivis dan subjektivis adalah suatu keniscayaan hidup dan sebagai tanda bersyukur akan karunia Allah S.W.T, (2) pengembangan berkesenian sesuai dengan kaidah syariat Islam, dapat menjadi media yang efektif dalam proses dakwah Islamiah kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga betul-betul membuktikan bahwa syariat Islam itu berfungsi secara rahmatan lil ‘alamiin, (3) bahwa hukum patung, gambar dan nyanyian itu berlaku menurut ilatnya, yaitu: (a) untuk sesembahan, puja-puji selain kepada Allah S.W.T hukumnya adalah haram, (b) untuk sarana pendidikan anak dan anggota masyarakat hukumnya adalah mubah (boleh), dan (c) untuk perhiasan, bila tidak mendatangkan fitnah hukumnya adalah mubah (boleh). Jika dikhawatirkan membawa maksiat hukumnya adalah makruh, dan jika dikhawatirkan membawa kemusyrikan maka hukumnya adalah haram, (4) setiap guru di Madrasah Ibtida’iyah Manarul Islam harus mempunyai sikap positif (mendukung) dalam kegiatan pengembangan kesenian (seni budaya) yang berbasis Islami, sebagaimana yang diuraikan di atas. Semoga Allah S.W.T meridhai apa yang kita lakukan.

*) Makalah ini disajikan pada pembinaan para ustadz-ustadzah MI Manarul Islam. Penulis adalah Ketua Pembina Yayasan Amal Sholeh Kota Malang. Wakil Ketua PDM Kota Malang dan Anggota Majelis Pertimbangan MUI Kota Malang.

Daftar Rujukan:

Abdurrahman Al Jaami’. 2006. Al Munjid fi Abwabil Ajri wa Kaffaratuz Zunub. Penerjemah Abdullah Haidir. Kantor Dakwah dan Bimbingan Al Sulay, Riyadh. Saudi Arabia.

Arifin, 2012. Ketika Masyarakat Desa Berubah. STPN Press. Yogyakarta

Asy Syaukani, Imam. 1994. Nailul Authar Syarh Muntaqa al Akhbar min Ahadits Sayyid al Akhyar. Penerjemah Adib Bisri Mustafa. CV. Asy Syifa’. Semarang.

Fu’ad Abd Baqi, 2018. Al Lu’lu’ wal Marjan. Penerjemah Arif Rahman H. Insan Kamil. Solo

Hamka, 1979. Tafsir Al Azhar. Penerbit Yayasan Nurul Islam. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.

Koentowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat, PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Hassan, A.1994. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid: 1, 2 dan 3. C.V. Diponegoro, Bandung.

Majelis Tarjih Muhammadiyah. 2018. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 3. Suara Muhammadiyah. Yogyakarta.

Usman Najati, M. 2005. Al Qur’an Wa Ilmun Nafsi. Penerjemah, Zaka Al Farisi. C.V. Pustaka Setia. Bandung.

Qardhawi Yusuf. 1980. Halal dan Haram Dalam Islam. Penerjemah Mu’ammal Hamidy. PT. Bina Ilmu. Surabaya.

­­_____, 1993. Malamih Al Mujtama’ Alladzi Nansyuduhu. Penerjemah Setiawan Budi Utomo. Pustaka Al Kautsar. Jakarta.

_____. 1999. Kaifa Nata’amalu Ma’a Al Qur’an al azhim. Penerjemah Abd Hayyie al Kattani. Gema Insani Press. Jakarta.

Rachman Assegaf, Abd. 2006. Studi Islam Kontekstual. Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah. Gema Media. Yogyakarta.

Syahrul Akmal Latif. 2020. Super Spiritual Quotient (SSQ). Sosiologi berpikir Qur’ani dan Revolusi Mental. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Yaqub, Ali Mustafa. 1996. Nasihat Nabi kepada pembaca dan penghafal Al Qur’an. Gema Insani Press. Bandung.

Yunahar Ilyas, 2009. Cakrawala Al Qur’an. Tafsir Tematik tentang Berbagai Aspek Kehidupan. Itqan Publihing. Yogyakarta.