Pendidikan Islam dalam Perspektif Sosiologi oleh Dr. Arifin, M.Si

Oleh: Dr. Arifin, M.Si *)

Pendahuluan

Kualitas peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya (SDM) dalam penguasaan science and technology Islami dan mampu membumikannya. Kedudukan guru (pendidik) dalam membentuk kualitas SDM anak bangsa adalah berada dalam status-peran yang sangat sentral, yang tidak bisa tergantikan oleh kemajuan teknologi apapun (Usman, M.U., 2000; Ballantine, J.H. 2001). Agar setiap guru bisa berperan besar dalam membangun kualitas SDM, maka setiap guru harus betul-betul mampu membangun kualitas diri dalam empat kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial dan (4) kompetensi profesional (Usman, M.U., 2000; Arifin, 2017). Kajian berikut hanya menjelaskan secara singkat tentang pentingnya membangun kualitas kompetensi sosial guru (sesuai dengan tema kajian), dengan tujuan agar para guru RA dan MI Manarul Islam mampu memberikan kualitas layanan pendidikan dan pembelajaran pada peserta didik secara baik.

Konsep pendidikan Islam dalam perspektif sosiologi, sejatinya dapat dianalisis dari dua sisi atau aspek, yaitu: (1) aspek pendidik dan (2) aspek peserta didik. Ketika merujuk pada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru, sebagaimana yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), maka konsep pendidikan Islam dalam perspektif sosiologis dari aspek guru (pendidik) adalah lebih menekankan pada upaya meningkatkan kualitas kompetensi sosial guru, yang meliputi empat sub kompetensi, yaitu: (1) kompetensi bersikap inklusif dan tidak diskriminatif pada peserta didik, teman sejawat dan orang tua wali serta anggota masyarakat di sekitar sekolah, (2) kompetensi berkomunikasi secara efektif, empati dan santun pada peserta didik, teman sejawat dan orang tua wali serta anggota masyarakat di sekitar sekolah, (3) kompetensi beradaptasi di tempat bertugas dengan beragam sosial budaya masyarakat, (4) kompetensi berkomunikasi dengan komunitas profesinya dan profesi lain (Arifin, 2017). Uraian singkat keempat sub kompetensi sosial guru berikut akan dikorelasikan dengan prinsip-prinsip yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan hadis makbul.

Upaya meningkatkan kualitas kompetensi sosial pendidik

Ada empat sub kompetensisosial yang harus menjadi agenda penting untuk dikembangkan oleh setiap guru, yaitu: Pertama, kompetensi bersikap inklusif dan tidak diskriminatif. Setiap guru harus terus mengembangkan kualitas sikap inklusif. Sikap mental inklusif lawan kata dari sikap mental eksklusif. Contoh sikap mental eksklusif yang wajib dihindari oleh setiap guru adalah: (1) menilai pandangan dan tindakannya adalah yang terbaik, terunggul, sedangkan apa yang  dilakukan oleh orang lain tidak baik atau tidak unggul, (2) sikap suka meremehkan kemampuan orang lain, (3) sikap mental  tertutup terhadap pandangan, informasi, dan alternatif wacana orang lain, (4) sikap mental vested interest (kepentingan pribadi yang tertanam secara kuat dalam kehidupan berkelompok). Dalam perspektif agama sikap mental eksklusif adalah suka dengki, suka memalingkan muka dari orang lain dan sombong (Langgulung, Hasan, 1992; Qardhawi Yusuf. 1999). Jadi, sikap inklusif adalah sikap keterbukaan diri, berlapang dada, yang menjauhkan diri dari sikap mental membanggakan diri, memalingkan muka dari orang lain, menganggap diri paling segalanya (sombong), suka meremehkan kemampuan orang lain dan tidak tolerir.

Pahami dan renungkan makna tekstual dan kontekstual firman Allah SWT dan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya: (1) “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia (Allah S.W.T) (paling) mengetahui tentang orang yang bertaqwa” (Q.S. An Najm/53: 32), (2) “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (Q.S. Luqman/31: 18), (3) “Katakan (kepada mereka), ‘Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu (kamu) kekal di dalamnya’. Maka (neraka Jahanam) itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan diri” (Q.S. Az Zumar/39: 72), (4) “Tidak akan diijinkan memasuki surga, ketika dalam jiwanya terdapat kesombongan walaupun seberat debu” (H.R. Muslim) (Latif Syahrul A dan Alfin EF. 2017; Taimiyah, Ibn, 2018).

Setiapguru harus terus menjauhkan sikap mental diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat, orang tua peserta didik dan anggota masyarakat di sekitar lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis kelamin, latar belakang keluarga, dan status sosial-ekonomi. Perlakuan diskriminatif jelas tidak akan membawa kemajuan dan kualitas hidup bermasyarakat yang sangat multikultural, bahkan perlakuan diskriminatif dapat menjadi sumber munculnya beragam problem sosial. Langkah strategis yang bisa dilakukan oleh guru untuk meminimalisir sikap diskriminatif dalam proses sosial layanan pembelajaran siswa dan interaksi dengan teman sejawat, serta orang tua/wali siswa  adalah: (1) membangun sikap mental terbuka terhadap kritik, saran yang konstruktif berkaitan dengan kualitas PBM di sekolah, (2) membangun sikap mental demokratik, menghargai keberagaman peserta didik, menjunjung tingi harkat dan martabat kemanusiaan, (3) selalu melibatkan semua siswa dalam proses kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikler secara maksimal, dengan menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (Usman, M.U., 2000; Arifin, 2017).

Pahami dan renungkan makna tekstual dan kontekstual firman Allah SWT dan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya: Firman Allah S.W.T, yang artinya: (1) “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji dan mungkar dan permusuhan” (Q.S. An Nahl16: 90); (2) “Sesungguhnya kebenaran itu akan membimbing ke arah kebajikan dan kebajikan itu akan membimbing ke arah surga. Dan sesungguhnya dusta itu akan membimbing ke arah kejahatan dan kejahatan itu akan membimbing ke arah neraka” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedua, kompetensi menjalin interaksi-komunikasi. Ada empat sub inti kompetensi menjalin interaksi atau komunikasi dengan teman sejawat, yaitu: (1) setiap guru harus menyadari akan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan kelompok berdasarkan kode etik guru, (2) setiap ucapan, pembicaraan dan tindakan  harus memperhatikan etika sosial religi yang berlaku, (3) setiap ucapan yang disampaikan pada pihak lain, betul-betul diproses melalui kesadaran diri, pertimbangan rasa dan kedewasaan jiwa atau sikap dan (4)  setiap guru harus terlibat aktif dalam kegiatan diskusi, kajian di forum ilmiah dengan menyajikan karya-karya ilmiah. Keempat hal tersebut harus dilakukan secara santun, efektif dan empatik sesama teman sejawat (Usman, M.U., 2000; Ballantine, J.H. 2001).

Ada lima sub inti kompetensi menjalin interaksi atau komunikasi dengan peserta didik, yaitu:  (1)  setiap guru harus memposisikan dirinya dihadapan peserta didik sebagai sosok orang tua sendiri, yang selalu merasa terpanggil untuk berkomunikasi dari hati ke hati dan penuh perhatian serta  kasih sayang pada setiap siswa, (2) ketika guru menjumpai pola perilaku menyimpang pada diri peserta didik, jangan sampai sikap-mental guru langsung  membenci  (dislike),  tetapi guru  harus  merasa  terpanggil untuk memecahkan problem siswa tersebut secara bijaksana, (3) guru harus memahami beragam teori pembelajaran dan mampu menerapkan secara bijaksana dalam membimbing dan memotivasi peserta didik untuk bisa secara maksimal dalam mengaktualisasikan potensi dirinya, (4) jangan mudah marah, mengucapkan kata-kata yang tidak mendidik dan (5) setiap ucapan, nasehat pada peserta didik selalu mengarah pada pentingnya hidup untuk berjuang keras, kerjasama dan mendekat kepada Tuhan. Kelima konsep tersebut harus dilakukan secara santun, efektif dan empatik dihadapan peserta didik (Langgulung, Hasan, 1992; Kahmad, D. 2000).

Ada tiga sub inti kompetensi menjalin interaksi atau komunikasi dengan orang tua atau wali siswa atau warga masyarakat, yaitu: (1) guru harus memiliki sikap mental terbuka dan selalu siap menjalin kontak komunikasi dengan pihak lain atau masyarakat, suku atau kelompok lain, (2) memegang teguh nilai-norma yang berlaku (norma agama, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan) dan (3) selalu membangun sikap mental untuk konsisten dalam memberikan sesuatu yang terbaik untuk kelompok (well organization principle).  

Pahami dan renungkan makna tekstual dan kontekstual firman Allah SWT dan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya: (1) “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. Al Hujurat/49: 10), (2) “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya” (Q.S. Al Maidah/ 5: 2), (3)  “Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, kompetensi beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja. Ada dua sub kompetensi inti guru dalam kaitannya dengan kompetensi beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja, yaitu: (1) beradaptasi dengan lingkungan tempat kerja yang sesuai dengan visi missi institusinya dan (2) keterlibatan diri dalam berbagai program yang dilaksanakan oleh institusi dengan baik.

Ada tiga sub inti  yang harus diperhatikan guru dalam membangun kualitas adaptasi dengan lingkungan kerja sesuai dengan visi misi institusi, yaitu: (1) setiap guru harus betul-betul memahami dengan baik akan statusnya sebagai pendidik, pembimbing, motivator dan media penyampai Iptek, (2) setiap guru harus betul-betul mampu menginternalisasikan nilai-nilai visi dan missi institusi (lembaga) tempat dia bekerja dalam proses pengembangan kompetensi profesinya sebagai guru dan (3) implementasi program lembaga harus mampu ‘mengejawantah’ aspirasi dan tuntutan kehidupan yang berkembang di masyarakat kekinian, dan guru harus mampu menjadi ujung tombaknya (Maliki, Z., 2010; Arifin, 2017).

Ada lima sub inti yang dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan sikap mental untuk terlibat aktif pada setiap program-program  satuan pendidikan, yaitu: (1) tumbuhkan etos kerja yang tinggi yang hanya berorientasi ‘karya untuk karya di atas bingkai hanya mengharap keridhaan Allah S.W.T’, (2) kokohkan prinsip hidup bahwa ‘manusia tidak akan mampu meraih prestasi puncak tanpa menjalin kerjasama yang baik dengan sesama’, (3) bangun atau ciptakan budaya kerja dalam  koridor team work yang handal, (4) setiap guru harus mampu membangun sikap mental sebagai ‘agent of change’ dan (5) kepala sekolah harus selalu melibatkan peran semua guru dalam proses evaluasi kenerja lembaga (satuan pendidikan) dengan baik (Meghan, R. and Clive H., 2007; Maliki, Z., 2010).

Pahami dan renungkan makna tekstual dan kontekstual firman Allah SWT dan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya: (1) “Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan, dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itu memperoleh laknat dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam)” (Q.S. Ar Ra’d/13: 25); (2) “…dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” (Al Baqarah/02: 83), (3) “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka membalasnya dengan ucapan yang menyelamatkan” (Q.S. Al Furqan/25: 63), (4) “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakal” (Q.S. Ali Imran/03: 159), (5) “Tidak ada amal ibadah yang mempunyai nilai berat timbangan kebaikan melebihi dari akhlak yang mulia” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Keempat, kompetensi berkomunikasi dengan komunitas profesinya. Ada dua sub kompetensi yang harus dilakukan oleh setiap guru berkaitan dengan membangun kualitas komunikasi dengan komunitas profesi, yaitu: (1) selalu aktif berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas profesinya, misalnya: Kegiatan Gugus, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau sejenisnya, aktif dalam kelompok kajian-penelitian tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai tempat Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan (2) mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian dan kajian serta inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi dan non-profesi (masyarakat luas), baik melalui kegiatan lomba Karya Ilmiah Guru (KIG) atau di majalah dan jurnal pendidikan dan pembelajaran (Arifin, 2017). Dalam hal ini setiap pendidik dituntut untuk terus menerus berkarya yang terbaik, berinovasi di bidang pendidikan dan pembelajaran, dengan cara terus meningkatkan kualitas pengusaan Iptek bidang pendidikan dan mejalin kerjasama sesama guru yang tergabung dalam komunitas profesinya.

Bagi seorang pendidik, membangun kualitas komunikasi profesi untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kualitas berinovasi  dalam pembelajaran adalah suatu keniscayaan, bahkan harus diposisikan ‘sebagai darah yang mengalir dalam tubuh’. Hal ini disebabkan seorang guru adalah ‘pembimbing generasi, pentransfer sains Islami dan contoh teladan dalam mencintai science yang berbudi pekerti mulia’.

Pahami dan renungkan makna tekstual dan kontekstual firman Allah SWT dan sabda Rasulullah s.a.w, yang artinya: (1) “(Luqman berkata), ‘Wahai anakku!, Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan/karya) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Mahahalus, Mahateliti” (Q.S. Luqman/31: 16), (2) “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al Mujadilah/58: 11), (3) “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan/pekerjaan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain) dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap” (Q.S.Asy Syarh/94: 7-8), (4) “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui (tanpa science). Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. Al Isra’/17: 36), (5) “Sebaik-baik kamu adalah yang mau (mampu) mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya” (H.R. Muslim), (6) “Barangsiapa di sepanjang hidupnya terus menuntut ilmu pengetahuan (sains Islami), maka Allah S.W.T akan memudahkan dia memasuki pintu surga” (H.R. Muslim)

 Seorang guru akan mengalami kesulitan dalam mewujudkan beragam kompetensi inti guru dalam aspek sosial apabila setiap guru tersebut tidak punya komitmen internal untuk terus menerus membangun sikap-mental positif dalam menjalankan kode etik profesinya, diantaranya adalah: (1) cinta pada perkembangan iptek, (2) selalu siap menjalin kerjasama dengan siapapun, (3) selalu tidak puas terhadap karya yang ada (membaharui diri), (4) selalu menyadari dirinya adalah sebagai pemimpin, (5) selalu menjalankan suatu pekerjaan berdasarkan perencanaan yang matang, dan (6) menjunjung tinggi nilai bahwa upah harus sesuai dengan karya (Usman, M.U., 2000; Ballantine, J.H. 2001; Maliki, Z., 2010).

Paling tidak ada tiga langkah strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas sikap mental guru, khususnya dalam membumikan keempat sub kompetensi sosial di atas, yaitu:

  1. Secara personal, setiap guru harus konsisten untuk melakukan evaluasi diri (muhasabah), apakah sudah betul-betul menerapkan kaidah, prinsip kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional sepanjang karirnya sebagai guru?.
  2. Membangun kualitas mentalitas positif guru melalui kegiatan penataran, pelatihan ’motivasi berprestasi’ dan sejenisnya secara periodik di sekolah atau di luar sekolah.
  3. Membangun sikap mental kerjasama sesama guru sebagai team work yang kokoh untuk mewujudkan tujuan satuan pendidikan dan pembelajaran. Semua guru pada satuan pendidikan harus menyatu bagaikan satu bangunan kokoh (sistemik). Proses interaksi dissosiatif sesama pendidik dalam pemberian layanan pembelajaran harus diminimalisir. Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran siswa di sekolah, setiap guru wajib menerapkan empat konsep penting yaitu: (a) system thinking, (b) mental models, (c) team learning and teaching, (d) shared vision (Usman, M.U., 2000; Arifin, 2017).   

Penutup

Uraian singkat tersebut di atas memberikan kejelasan, bahwa setiap guru Raudhatul Atfal (RA) dan guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Manarul Islam mempunyai kewajiban dasar untuk membangun kualitas kompetensi sosialnya yang berbasis sosiologi agama. Disamping kompetensi sosial yang telah diuraikan singkat di atas, juga harus terus dibangun kualitas kompetensi pedagogik (berkaitan dengan ilmu psikhologi perkembangan), kompetensi kepribadian (berkaitan dengan etika spiritual) dan kompetensi profesional (berkaitan dengan penelitian dan pendidikan).

Jadi, setiap guru Raudhatul Atfal (RA) dan guru Madrasah Ibtidaiyah (MI)  Manarul Islam, baik secara personal maupun berkelompok (tim work) punya tugas untuk merealisasikan atau membumikan semua sub inti kompetensi guru secara integral dalam proses layanan pembelajaran pada peserta didik di sekolah, dengan strategi (1) melakukan perencanaan yang baik, (2) komitmen untuk melaksanakan perencanaan yang baik tersebut, (3) selalu melakukan refleksi terhadap hasil pelaksanaan perencanaan, baik secara personal atau dalam satu tim kerja. Semoga Allah S.W.T meridhai-Nya. Aamiin YRA.

*) Penulis adalah Ketua Pembina Yayasan Amal Shaleh Malang (YASMA) dan Sekretaris Pembina Yayasan Masjid Jenderal Sudirman Kota Malang serta Anggota Majelis Pertimbangan MUI Kota Malang.

DAFTAR PUSTAKA  

Arifin, 2017. Upaya diri menjadi Guru Profesional. Penerbit PT. Phibeta Bandung.  

Ballantine, J.H. 2001. The Sociology of Education: A Systematic Analysis. New Jersey: Prentice Hall.

Brown, Francis I. 1961. Educational Sociology. Second Ed. Modern Asia Edition, Charles  Tutle Company, Tokyo.

Hamzah.B.U., 2008. Model Pembelajaran. Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Kahmad, D. 2000. Sosiologi Agama. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Langgulung, Hasan, 1992, Asas-Asas Pendidikan Islam. Pustaka Al Husna. Jakarta. 

Latif Syahrul A dan Alfin EF. 2017. Super Spiritual Quotient (SSQ) Sosiologi berpikir Qur’ani dan Revolusi Mental. PT. Alex Media Komputindo. Jakarta.

Maliki, Z., 2010. Sosiologi Pendidikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Meghan, R. and Clive H., 2007. A Sociology of Educating. United States Holt. Renehart and Winston Ltd.

Qardhawi Yusuf. 1999. Kaifa Nata’amalu Ma’a Al Qur’an ani al Azhim. Penerjemah Abdul Hayyie. Gema Insani. Jakarta.

Taimiyah, Ibn, 2018. Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa dan Menjernihkan Hati dengan Akhlak yang Mulia). Diterjemahkan M. Rasikh dan Muslim Arif. Darus Sunnah Press. Jakarta.

Usman, M.U., 2000. Menjadi Guru Profesional. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung.